BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Akhlak
amat penting dalam penghidupan manusia memandangkan besarnya pengaruh
akhlak kepada tindak tanduk manusia, sehingga pada ketikanya
nilai-nilai akhlak yang terdapat pada diri seseorang itu bertindak
menjadi neraca penilai kepada sesuatu perbuatan .Akhlak mendapat
kedudukan yang tinggi pada pandangan Islam Sistem akhlak dalam Islam
dapat membedakan dirinya dengan sistem akhlak yang lain melalui
ciri-cirinya yang khusus.
Islam
menjadikan akhlak sebagai illat (alasan) kenapa agama Islam
diturunkan Sabda Rasullah : Aku diutus hanyalah semata-mata Untuk
menyempurnakan akhlak- Akhlak yang mulia.
Islam
menganggap orang yang paling mulia ialah mereka yang paling mulia
akhlaknya Hadis berbunyi : Telah dikatakan Ya Rasulullah, mukmin yang
manakah paling afdhal imannya, Rasulullah s.a.w. bersabda orang yang
paling baik akhlaknya antara mereka.
Modernisasi
zaman yang semakin berkembang dari waktu kewaktu menuntut manusia
memahami ahlak secara essenasial, dalam arti bahwa manusia memahami
ahlak bukan hanya sebagai sikap atau perilaku saja melainkan, ahlak
tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada
diri pribadi, masyarakat bahkan dalam bernegara.
Bahasan
dalam makalah ini adalah ahlak bernegara, dimana ahlak ini perlu
disadarai oleh kita agar kita dapat menjadi sensitif terhadap
persoalan yang terjadi pada bangsa dan Negara kita. Hal ini didorong
dengan kekahawatiran akan bobroknya generasi kita, apabila kita
tidak dibekali dengan pengetahuan tentang ahlak yang cukup, untuk
menjalani kehidupan kedepannya.
Dengan
demikian, kami dari kelompok V dalam makalah ini kami membahas
beberapa sub-bab dari materi ahlak bernegara ini, adapun sub-babnya
antara lain:
- Musyawarah
- Menegakkan Keadilan
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
- Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
- Rumusan Masalahh
Dari
uraian latar belakang diatas, dalam makalah ini kami angkat
permasalahan yaitu : Bagaiman implementasi ahlak bernegara yang
terbagi kedalam empat sub-bab diatas ?
- Tujuann
Dari
rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan dalam makalah ini
adalah agar mahasiswa memahami ahlak dalam bernegara dan menerapkanya
dalam kehidupan sehari-hari.
- Manfaat
Kami
mengharapakan makalah ini dapat menambah wawasan tentang ahlak
bernegara bagi mahasiswa dan mampu menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
Akhlak
adalah sikap/tabiat dari seseorang. Dalam akhlak bernegara tentunya
menggambarkan sikap sesorang terhadap bangsa dan negaranya.
Sesungguhnya akhlak adalah nilai pemikiran yang telah menjadi sikap
mental yang mengakar dalam jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan
dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks.
- Musyawarah
Secara
etimolgis, musyawarah berasal dari kata syawara
yang pada mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Dan
makna tersebut terus berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu
yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain, termasuk
pendapat. Musyawarah juga dapat berarti mengatakan sesuatu atau
mengajukan sesuatu, dan pada dasarnya musyawarah hanya di gunakan
untuk hal-hal yang positif. Sejalan dengan makna dasarnya, maka
musyawarah haruslah bersifat dialogis, bukan monologis (terdapat
perbuatan yang dilakukan timbal balik). Semua anggota musyawarah
bebas berpendapat dan diharapkan dari prosesi musyawarah tersebut
menghasilkan keputusan yang tepat.
Musyawarah
sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat
manapun. Setiap Negara maju menginginkan keamanan, ketentraman,
kebahagiaan, dan kesuksesan bagi rakyat-rakyatnya tetap memegang
prinsip musyawarah ini. Maka
tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan hal tersebut sebagaimana
firman-Nya dalam Surah Asy Syura Ayat 37-38:
37. dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila
mereka marah mereka memberi maaf.
38. dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.
Dalam
ayat tersebut menjelaskan bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah
ibadah terpenting dan sekaligus menggambarkan bahwa musyawarah
merupakan satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat.
Dalam
Islam musyawarah pun ada batas-batasannya, yaitu apa-apa yang sudah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak boleh
dimusyawarahkan, sebab pendapat tidak boleh mengungguli wahyu
(Al-Qur’an dan As-Sunnah). Jadi
Musyawarah hanyalah terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah.
Allah
SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan agar
musyawarah tersebut dapat berjalan dengan lancar, yaitu sikap lemah
lembut, pemaaf, dan mohon ampunan Allah SWT. Tanpa adanya etika
tersebut, musyawarah tak akan dapat menghasilkan suatu keputusan yang
bijak, bahkan dapat menimbulkan kebencian antar peserta dan hal-hal
negatif yang lainnya.
- Menegakan Keadilan
Istilah
keadilan berasal dari kata ‘adl,
yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dari pengertian di
atas, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau
memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan
setatus yang sama. Dan ada pula yang berpendapat bahwa keadilan
ialah, memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban, dalam artian
sesuai dengan kebutuhannya.
Agama
Islam sangat menekankan akan berlaku adil dan menegakkan keadilan
sebagaimana dalam firman-Nya:
“ Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.”
(QS.
An-Nahl 16: 90)
Dalam
bidang hukum Islam mengajarkan bahwa semua orang dapat perlakuan yang
sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada deskriminasi hukum karena
perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dll. Keadilan hukum
harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, maupun kerabat
dan orang-orang yang dicintai. Dan mengingat pentingnya keadilan
dalam Islam dalam mengangkat seorang hakim haruslah yang memenuhi
syarat keahlian dan kepribadian. Selain memiliki wawasan yang luas
seorang hakimpun dituntut untuk memiliki ahlak yang mulia, terutama
kejujuran dan amanah.
Di
samping keadilan dalam hukum, umat manusia khususnya umat muslim pun
dituntut untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan. Baik adil
terhadap diri sendiri, keluarga, dalam mendamaikan perselisihan,
dalam bertutur kata, bahkan adil terhadap musuh sekalipun. Dan adil
terhadap segala aspek yang lain.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setjara
harfiah amar ma’ruf nahi mungkar berarti menyuruh kepada yang baik
dan mencegah dari yang mungkar. Ma’ruf
secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar berarti
yang tidak dikenal. Menurut Muhammad Abduh, ma’ruf adalah
yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar
adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani.
Berbeda
dengan Abduh, Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan ma’ruf dengan
”apa-apa yang di perintahkan oleh syara’ (agama) dan di nilai
baik oleh akal, sedangkan munkar adalah apa-apa yang dilarang syara’
dan dinilai buruk oleh akal sehat.”
Dari
dua pengertian tersebut, bahwa yang menjadi tolak ukur ma’ruf dan
munkar adalah agama, akal sehat, dan juga nurani. Dan dari pengertian
di atas ruang lingkup ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik
dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak, maupun mu’amalat.
Dan
amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman,
baik secara individu maupun kolektif. Allah berfirman:
”Dan
hendaklah di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, dan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS.
Ali ’Imron 3: 104)
Di
samping itu, amar ma’ruf nahi munkar merupakan tugas yang
menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam. Keberadaan umat
Islam sebagai umat terbaik ditentukan oleh perannya dalam mengemban
tugas amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Bila tugas tersebut
diabaikan, dengan sendirinya umat Islam akan terpuruk menjadi umat
buruk kalau tidak yang terburuk sebagai lawan yang terbaik. Bila hal
itu benar-benar terjadi, keberadaan umat Islam sama sekali tidak akan
diperhitungkan oleh umat-umat yang lain. Umat
muslim akan kehilangan posisi yang kokoh di atas permukaan bumi. Dan
hal tersebut pun sudah mulai tampak pada realitas yang terjadi
akhir-akhir ini.
Melakukan
amar ma’ruf dan nahi munkar tidaklah ringan, hal tersebut
merupakan tugas yang sangat berat maka diperlukannya tekad,
ketegaran, dan ketetapan hati untuk melakukannya.Untuk itu umat Islam
harus bersatu dan bahu membahu dalam menjalankanya. Dan
hal itu juga tak hanya dilakkan oleh laki-laki, melainkan juga
perempuan. Dan juga segala elemen baik tua maupun muda, miskin dan
kaya, pemimpin dan rakyat dll.
Dibandingkan
dengan amar ma’ruf, nahi mungkar lebih berat tingkatanya karena
beresiko tinggi. Dan hal tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW:
”Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, hendaklah dia merubah
dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah)
dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka
rubahlah dengan hatinya Yang demikian itu merupakan selemah-lemah
iman.”(HR.
Muslim)
- Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin
Sesungguhnya
dalam Islam kepemimpinan berada di tangan Allah SWT dan secara
oprasionalnya dilaksanakan oleh Rosulullah SAW, dan sepeninggal
beliau kepemimpinan dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal
itu dinyatakan dalam Al-Qur’an:
”Sesungguhnya
pemimpin kamu adalah Allah, Rosul-Nya, dan orang-orang yang beriman,
yaitu yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah).”(QS.
Al-Ma’idah 5: 55)
Dari
ayat di atas seorang pemimpin haruslah beriman kepada Allah SWT.
Seorang pemimpin tanpa keimanan diragukan dan tidak mungkin dapat
membawa umat menempuh jalan yang yang lurus. Maka dari itu, Islam
melarang memilih pemimpin dari golongan orang-orang kafir. Allah
berfirman:
”Janganlah
orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali-wali
dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan Hanya kepada
Allah (Kamu) kembali.”(QS.Ali
”imron 3: 28)
Dan
selain itu pemimpin haruslah mendirikan sholat menunaikan zakat dan
tunduk patuh kepada Allah SWT. Dan hal ini merupakan simbol kepatuhan
secara mutlak dan dekat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya yang secara
kongret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah
(total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, ahlak, maupun mu’amalat.
Sebagai
umat, kepemimpinan Allah dan Rosul-Nya adalah kepemimpinan yang
mutlak diikuti dan dipatuhi. Sedangkan orang-orang yang beriman
adalah kepemimpinan yang nisbi (relatif) kepatuhan terhadapnya
tergantung pada kualitas dan integritasnya serta arah dan corak
kepemimpinannya. Kemana umat itu akan dibawa, apakah tuk menegakkan
Islam atau tidak.
Sekalipun
dalam setruktur bernegara terdapat hirarki kepemimpinan yang
mengharuskan umat atau rakyat patuh terhadap pemimpinnya, akan tetapi
dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpin haruslah berlandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah
Islamiyah, bukan prinsip atasan bawahan dan terciptanya hubungan
horisontal, sebagaimana lagu Iwan Fals: ”wakil rakyat seharusnya
merakyat”. Hal yang demikian tersebut bukan melemahkan
kepemimpinan, melainkan akan semakin memperkokoh, karena tidak hanya
disadari hubungan formal tapi disadari juga hubungan hati yang penuh
kasih sayang.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari
pembahasan keempat sub-pokok diatas, maka kami dapat menarik suatu
kesimpulan dimana kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat penting
dan sangat esensial dalam sikap yang ditunjukkan dalam ahlak
bernegara. Adapun criteria pemimpin yang sangat dibutuhkan adalah
p;emimpin yang ideal, dimana pemimpin yang ideal telah diungkapkan
dalam surat Al-Maidah ayat 55, yang tentunya menjadikan Nabi Muhammad
SAW seagai suri tauladan kepemimpinan yang baik.
Dalam
memahami materinya, hendaknya memahami secara menyeluruh tidak secara
terpisah, dikarenakan materi ini sangat terkait satu sama lain dan
saling mendukung. Seorang pemimpin yang baik dan mempunyai ahlak
adalah pemimpin yang suka bermusyawarah, perbuatan dan tindakanya
Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar, senantiasa menegakkan keadilan, dan
tentunya mempunyai hubungan yang baik dengan bawahanya.
Komponen-komponen
inilah yang mendasari kokohnya akhlak seorang negarawan, yang apabila
diterapkan dengan sungguh-sungguh akan menjadi Rahmatan lil alamin.
- Saran
Dari
uraian pembahasan dalam makalah ini maka dapat kami sarankan bahwa,
- Seorang pemimpin haruslah mengedepankan musyawarah dalam mengambil suatu keputusan dalam memutuskan sesuatu permasalahan baik pemipin dalam keluarga, masyarakat maupun dalam kontek bernegara.
- Dalam mengankat Seorang pemimpin, hal yang utama diperhatikan adalah ahlaknya.
- Pemimpin haruslah berdiri digaris paling depan dalam menegakkan Amar ma’ruf nahi munkar merupakan tugas yang menentukan eksistensi dan kualitas umat Islam.
Daftar
Pustaka
Ilyas
Yunahar, Drs., Lc.,M.A., Kuliah Ahlak., Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Offset.,2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar