Rabu, 14 Desember 2011

Ibnu Rusyd; sang filosuf peletak tonggak perbedaan


Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Ketidaksepakatan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibnu Rusyd (hingga mengkafirkan) yang dituangkan dalam bentuk tulisan berjudul “tahafut al-tahafut" (kerancuan dari kerancuan).
Menurut penilaian Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah mengisi bukunya tahafut falasifah dengan pikiran-pikiran sufistik, dan kata-katanya tidak sampai pada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahaman terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filusof-filusof dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pemikiran-pemikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan disini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami secara benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh.
 

Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat dalam diri Al-Ghazali. Akan tetapi “kuda balab kadang-kadang terantuk” demikian kata pepatah. Dan bagi Al-Ghazali, terantuknya itu ialah karena ia menulis buku tahafut-nya tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilakukan karena melayani selera massa dan lingkungannya.
Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah kebangkitan kembali manusia setelah meninggal. 


Menurut Ibnu Rusyd, pembangkitan yang dimaksud kaum filsuf adalah pembangkitan Ruhiyah bukan Jasmaniyah. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Ibnu Rusyd dan juga filsuf lainnya, yang bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedangkan menurut Al-Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga Jasmaniyah. Ibnu Rusyd juga mengajarkan bagaimana cara membangun rules of dialogue , dalam kaitannya memahami orang lain di luar kita. Teori ini didasarkan pada tiga prinsip epistemologi. Pertama, keharusan untuk memahami yang lain dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksimotik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.

Prinsip kedua, dalam kaitan relasi kita dengan Barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tetapi terjadi harmoni diantara keduanya. Harmoni yang dimaksud tidak harus sama dan identik. Karena itu hak untuk berbeda harus dihargai.

Prinsip ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Ibnu Rusyd menolak cara-cara Al-Ghazali menguliti filosuf tidak dengan tujuan mencari kebenaran, tetapi untuk mempertanyakan tesis-tesis mereka. Dan prilaku ini menurut Ibnu Rusyd tidak layak dilakukan oleh orang terpelajar, karena tujuan orang terpelajar adalah hanya untuk mencari kebenaran bukan menyebarkan keragu-raguan.

Tidak ada komentar: